Demo Tolak Relokasi 16 Kampung Tua Rempang Berlanjut, Massa Mulai Berdatangan

Batam, Matainvestigasi.com – Aksi aparat gabungan menembakkan gas air mata kepada warga Pulau Rempang, Batam, Riau pada Kamis (7/9/2023), mengakibatkan puluhan warga mengalami luka-luka. Insiden itu terjadi saat proses pengukuran pengembangan kawasan Rempang Eco City. Keributan pecah saat petugas gabungan tiba di lokasi, Selasa (12/09).

Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Pembangunan ini bakal berdampak kepada 10 ribu warga Pulau Rempang dan Galang yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua. Para warga kampung terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang telah mereka huni turun-temurun. Karinus, warga setempat yang memiliki lahan di lokasi rencana pembangunan Rempang Eco City itu, mengaku masyarakat adat menolak karena ingin mempertahankan adat istiadat mereka yang berumur ratusan tahun.

“Alasan warga menolak itu karena warga sudah tinggal ratusan tahun. Warga menolak itu, kan, persoalan kampung mereka [mempertahankan] adat istiadat di sini, khususnya warga Melayu,” kata Karinus, Jumat (8/9/2023).

Karinus mengaku tak ikut saat warga menghalau petugas yang hendak melakukan pengukuran dan pematokan. Sebab, kata dia, ia termasuk salah satu nama target yang akan ditangkap, bahkan Karinus dicap provokator.

“Kalau saya enggak, karena saya dicari aparat untuk menangkap kami. Pikirnya kami yang istilahnya provokator. Padahal, tidak,” ucap Karinus.

Menurut Karinus, sudah delapan bulan sejumlah petugas lalu lalang mendatangi lokasi yang rencananya dijadikan kawasan Rempang Eco City. Ia mengakui memang ada tawaran ganti rugi kepada warga. Namun, tidak pernah terbuka. Selama ini hanya menggaungkan sosialisasi ihwal relokasi, tapi lokasi relokasi hingga kini belum jelas.

“Itu selama 8 bulan mereka berjalan terus, hanya mereka kan istilahnya ganti untung tidak terbuka kepada masyarakat, sampai sekarang tidak ada yang jelas. Hanya disosialisasikan tentang relokasi saja,” kata Karinus.

Karena ketidakjelasan itu, kata dia, pulau yang di dalamnya terdapat 16 kampung dengan kisaran jumlah penduduk 7.000-an tersebut memilih tegas menolak demi mempertahankan lahan mereka.

“Hanya ditawarkan relokasi dengan ukuran rumah kita, awalnya itu 45 meter dan sama luas lahannya 200 meter. Akhir-akhir ini jadi 500 meter persegi,” terang Karinus.

Karinus mengatakan, mayoritas masyarakat asli menolak. Hanya warga luar Pulau Rempang yang merelakan tanahnya. “Ada yang serahkan lahan bukan masyarakat adat asli, tidak, itu orang di luar daerah Rempang yang usahanya mungkin di Rempang yang menyerahkan lahan mereka,” kata Karinus.

Rata-rata masyarakat setempat berprofesi sebagai petani dan nelayan. Jika masyarakat adat mau direlokasi, maka pemerintah harus menyiapkan lapangan pekerjaan dulu kepada mereka.

“Memang ada rumah susun, cuma masyarakat kami nelayan dan petani. Mereka harus siapkan dulu lapangan pekerjaannya” tutur Karinus.

Sementara itu, Leon Maulana selaku kuasa hukum warga Pulau Rempang, mempertanyakan urgensi dilakukan pengukuran dan pematokan. Sebab, kata dia, pematokan dan pengukuran memang atas dasar SK yang diberikan kepada BP Batam, dan itu dijadikan dasar penerbitan sertifikat hak pengelolaan (HPL).

“Saat ini BP Batam belum menerima sertifikat HPL, melainkan mereka baru mendapatkan persetujuan dari Kementerian ATR/BPN dan masih harus memenuhi persyarat-persyaratan lainnya. Contoh simpelnya mendapatkan persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup karena, kan, di sini area yang hendak dijadikan pengelolaan itu terdapat area hutan produktif, hutan lindung dan lain sebagainya, sehingga mereka harus mendapatkan perizinan yang lengkap dan memadai,” kata Leon dikutip dari Tirto Jumat (8/9/2023).

Leon mengaku kecewa, sebab sampai saat ini, BP Batam belum melakukan komunikasi dan sosialisasi untuk melibatkan masyarakat dalam proses mediasi dalam proses penerbitan HPL. “Kan, kemarin sangat disayangkan, bahkan Komnas HAM juga sudah mengirimkan surat atas tindak lanjut dari surat sebelumnya bahwa tolong BP Batam untuk menyelesaikan jangan secara represif, tetapi secara memediasikan, disosialisasikan, dilibatkan masyarakat. Faktanya sampai saat ini bahkan suara masyarakat tidak didengar,” tutur Leon.

Leon juga mempersoalkan langkah BP Batam yang memaksa masuk, tetapi tidak menghubungi mereka terlebih dahulu, apalagi membawa aparat kemanan demi memuluskan langkah pengukuran dan pematokan.

“Justru kami kaget mendapatkan informasi dari masyarakat setempat bahwa gabungan TNI-Polri dan BP Batam memaksa masuk untuk melakukan pengukuran dan pematokan. Dasarnya apa? Kan, UU sudah mengatur secara tegas baik itu masyarakat itu harus dilibatkan,” kata Leon.

Leon mengatakan, masyarakat adat Pulau Rempang itu manusia, bukan hewan yang harus diusir secara paksa. Mereka juga membayar pajak kepada pemerintah. “Mereka juga punya surat kepemilikan atas tanah. Mereka ada hak-hak itu, dan mereka sudah ada di situ beratusan tahun,” tutur Leon.

Ia mengatakan, aksi represif aparat itu juga menganggu proses belajar mengajar sekolah setempat, bahkan ada korban yang kepalanya bocor akibat tembakan gas air mata. “Bahkan anak-anak sekolah yang menuntut pendidikan saja, yang tidak terkait hal tersebut, jadi terkena dampaknya. Bahkan ada yang dilarikan ke rumah sakit, ini kan sangat disayangkan. Bahkan ada bapak-bapak yang kepalanya bocor. Ini tindakan represif,” kata Leon.

Kronologis Versi Polisi Kepala Bidang Humas Polda Kepri, Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, semula BP Batam merencanakan melakukan tiang pancang di lokasi pembangunan. Beberapa kali dari tim terpadu akan melakukan pengukuran dan pematokan. Namun, ada sejumlah kelompok warga selalu menghalang-halangi dan mengatakan tidak setuju rencana proyek Rempang Eco City.

“Kelompok ini yang menghasut. Padahal, dari kegiatan ini sudah ada beberapa badan usaha, kemudian perorangan sudah sukarela menyerahkan kepada pemerintah dalam hal ini BP Batam untuk dilakukan proses pembangunan dalam jangka ke depannya untuk mereka mendapatkan cara kehidupan yang lebih baik,” kata Pandra dikutip dari Tirto, Jumat (8/9/2023).

Perwira menengah Polri itu mengklaim, rencana itu justru dihasut oleh sejumlah pihak lewat media sosial. Narasi-narasi yang kerap digaungkan, kata dia, tertindas dan sejenisnya. Padahal, kata dia, kawasan itu semula merupakan hutan, sedangkan tak jauh dari situ ada otoritas BP Batam.

Ia mengklaim, BP Batam juga telah menyiapkan relokasi dan ganti rugi kepada warga setempat. Namun, masyarakat tetap menolak. “Itu kemarin sedang melakukan pematokan dan juga pengukuran, tetapi dihalang-halangi oleh sekelompok masyarakat,” kata Pandra.

Pandra mengatakan, warga memblokade perlintasan yang merupakan tempat aktivitas umum. Ia menyebut total ada 17 titik yang diblokade warga. Perihal penggunaan gas air mata yang berujung ricuh antara warga Rempang dan aparat, kata dia, sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP).

Lanjut Pandra, semula masyarakat dinegosiasi oleh tim Polwan. Namun, warga tetap menghalangi. Ia sebut warga menuduh aparat menghalau jalan dan menghasut melalui media sosial. Kemudian, ratusan warga datang dengan niat bentrok sama aparat. “Mereka membawa bom molotov, sebongkah batu, ketapel bahkan membawa senjata tajam yang diarahkan ke petugas,” klaim Pandra.

Menurut dia, semula aparat sudah berusaha membubarkan massa dengan negosiasi. Namun, tak diindahkan. Lalu, petugas berusaha membubarkan dengan menyemprotkan dengan water cannon. “Dari water cannon tetap enggak mau, kami pakai gas air mata,” kata Pandra. Jika ada warga yang terluka, maka itu hanya dampak. Sebab, asap gas air mata mengarah ke salah satu sekolah.

“Polisi bukan ngejar-ngejar ke sekolah, justru polisi yang mengevakuasi terhadap anak-anak sekolah ke rumah sakit dan datanya ada di kami, ada 11 orang. 1 orang guru, dan 10 siswa. Sudah kembali seperti biasa,” klaim Pandra.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Ahmad Ramadhan mengklaim, tidak ada korban jiwa dalam insiden bentrok itu. Menurut Ramadhan, polisi telah melakukan pengecekan. “Sekali lagi tidak ada korban, baik di pihak masyarakat maupun aparat keamanan.

Jadi itu tidak benar ada siswa pingsan, kemudian apalagi ada yang menginformasikan seorang bayi meninggal, itu tidak benar. Kami sudah lakukan pengecekan itu tidak benar,” kata Ramadhan di Mabes Polri, Jumat (8/9/2023).

Ramadhan mengatakan, peristiwa yang terjadi karena tindakan pengamanan oleh aparat dengan menyemprotkan gas air mata. Gas air mata itu tertiup angin, sehingga menyebabkan warga terganggu penglihatannya. “Ketiup angin sehingga terjadi gangguan penglihatan untuk sementara. Pihak Polda Kepri sudah membantu untuk membawa ke tim kesehatan,” tutur Ramadhan.

Ramadhan menambahkan, “Terkait beberapa orang yang diamankan oleh pihak aparat keamanan, kami sampaikan ada delapan orang. Mengapa diamankan? Karena delapan orang tersebut membawa beberapa senjata tajam, ada yang membawa ketapel, ada yang membawa batu dan membawa barang-barang atau benda-benda yang berbahaya.” Ia mengatakan kedelapan orang itu akan diproses sesuai hukum yang berlaku.

BP Batam Klaim Telah Sosialisasi sebelum Pengukuran Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait sebut, sebelum melakukan pengukuran, pihaknya sudah melakukan berbagai tahapan sosialisasi. Ariastuty bilang, BP Batam terpaksa meminta bantuan kepada Tim Terpadu Kota Batam karena ada pemblokiran jalan dan sweeping yang dilakukan warga di Jembatan 4 dan Dapur 6.

“Sebelum melaksanakan kegiatan pengukuran ini, kami sudah melakukan berbagai tahapan sosialisasi oleh tim kecil yang masuk ke masyarakat maupun dari Tim Terpadu. Namun, warga tetap melakukan pemblokiran jalan, sehingga terpaksa melibatkan Tim Terpadu untuk menjalankan proyek strategis nasional ini,” kata Ariastuty dikutip dari Tirto, Jumat (8/9/2023).

Menurut Ariastuty, pelepasan tembakan gas air mata ini tidak akan terjadi bila masyarakat mengizinkan tim untuk melakukan pengukuran. Menurutnya, sebelum aparat melepaskan tembakan gas air mata, Tim Terpadu telah meminta masyarakat untuk tidak melakukan pemblokiran jalan dan sweeping. Karena tindakan itu merupakan pelanggaran hukum. Namun, kata dia, imbauan tersebut tidak diindahkan warga.

Bahkan sejumlah warga melakukan perlawanan dengan pelemparan batu dan botol kaca. Tim Terpadu, kata dia, terpaksa melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan massa. Pelepasan tembakan gas air mata itu, hanya diarahkan ke kerumunan massa yang mengadang petugas. Sejumlah ibu-ibu dan anak-anak yang berada di barisan depan yang mengadang Tim Terpadu, terkena gas air mata.

Saat ini, klaim dia, mereka telah dibawa ke Rumah Sakit Embung Fatimah dan Klinik Yonif 10 Maritim Setokok. Kondisi mereka terus dipantau oleh tim kesehatan dari RSBP Batam. “Kami berharap masyarakat tidak terprovokasi dengan isu yang berkembang. Kegiatan ini kami pastikan sudah melalui tahapan sosialisasi sebelumnya kepada warga,” kata Ariastuty.

Kapolri Diminta Evaluasi Anggotanya Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, kekerasan yang dilakukan aparat menjadi bukti bahwa proyek strategis nasional kembali bermasalah. Apalagi protes penolakan warga dihadapi aparat dengan cara serampangan. Menurut Usman, kalau ada yang melanggar hukum, seharusnya cukup orang tersebut yang diproses hukum.

Ia juga menyoroti dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan aparat di dekat area satuan pendidikan di lokasi bentrokan. “Bukan (dihadapi) dengan penggunaan kekuatan berlebihan seperti pentungan dan gas air mata yang membahayakan orang banyak, baik dewasa maupun anak-anak sekolah yang sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas mereka,” kata Usman dikutip dari Tirto, Jumat (8/9/2023).

Usman merasa sulit untuk membenarkan anggapan aparat yang berdalih bahwa gas air mata memasuki area sekolah karena tertiup angin. “Kapolri harus menghentikan penggunaan kekerasan yang tidak sah dan melanggar HAM terhadap masyarakat yang keberatan atas proyek strategis nasional, termasuk di Pulau Rempang-Galang,” ucap Usman.

Ia juga meminta Kapolri segera membebaskan warga yang ditangkap dan menyeret mereka yang melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga ke muka hukum. “Seharusnya negara mengedepankan konsultasi yang bermakna dengan warga setempat. Harus ada solusi yang adil dan berkelanjutan,” tegas Usman.

Hal senada diungkapkan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS, Nasir Djamil. Ia meminta Kapolri mengevaluasi anggotanya dalam proses penanganan pembebasan lahan di Pulau Rempang. Ia menyoroti kinerja kepolisian yang kurang hati-hati, terutama saat berhadapan dengan masyarakat adat yang akan dibebaskan lahannya.

“Masyarakat adat istilahnya punya tempat dalam struktur sosial dalam desa bahkan nasional. Kita sangat menyayangkan peristiwa itu. Seandainya langkah preventif dan mendeteksi pencegahan lebih awal dilakukan,” kata Nasir dikutip dari Tirto pada Jumat (8/9/2023).

Ia menyayangkan aparat yang tidak mengedepankan tindakan persuasif. Sehingga harus berujung pada penembakan gas air mata. “Perlu kerja sama dengan semua pihak. Seandainya langkah mendeteksi ini dan pencegahan bisa dilakukan dan tidak akan terjadi. Semuanya berjalan dengan damai. Kami sangat sayangkan peristiwa ini terjadi,” kata dia.

Dia mengingatkan tugas polisi adalah mengamankan dan melindungi masyarakat. Bukan melakukan hal sebaliknya yang mengancam dan membahayakan masyarakat. “Oleh karenanya kami meminta aparat untuk melindungi rakyat. Jadi polisi wajib melindungi rakyat,” tegasnya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *