Krisis Air Bersih, Bencana Kekeringan Meluas Melanda di Indonesia

Bandung, Matainvestigasi.com – Di tengah hiruk-pikuk jelang Pemilu 2024, sebagian warga Indonesia dilanda kemarau panjang. Sedikitnya ada 166.415 jiwa yang merana akibat krisis air bersih hingga akhir September 2023 ini, Rabu (04/10).

Dalam dua bulan terakhir, warga yang terdampak kekeringan di Tanah Air semakin banyak. Data informasi bencana mingguan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan dampak meluasnya kekeringan di Tanah Air. Kekeringan yang dimaksud ialah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan.

Laporan sejak Senin 25 September 2023 pukul 07.00 WIB hingga Selasa 26 September 2023 pukul 07.00 WIB menyebutkan, kekeringan melanda beberapa wilayah di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur.

Di Banten, kekeringan dialami 33.520 warga di Serang. Sementara di Sulsel, kemarau panjang membuat 17.211 warga Wajo susah mendapatkan air bersih. Sementara di Jateng, hasil pendataan harian yang dilakukan BNPN mendapati 99.523 warga di 76 kecamatan yang tersebar 17 kabupaten/kota juga dilanda kekeringan.

Secara mingguan, jumlah warga yang terdampak kekeringan ini terus bertambah hingga pekan ketiga bulan September 2023. Pantauan BNPB pada periode 14-21 September 2023, sedikitnya 166.415 jiwa yang mengaami krisis air bersih. Mereka tersebar di 53 kecamatan di 11 provinsi. Jumlah ini meningkat dari pekan sebelumnya (27 Juli-3 Agustus 2023), di mana terdapat 19.581 jiwa yang didata mengalami kekeringan.

Jumlah warga terdampak kekeringan ini diperkirakan dapat terus bertambah. Ada tiga faktor yang dapat menjadi indikasi meluasnya dampak kekeringan ini. Pertama ialah lamanya durasi kemarau panjang.

Berdasarkan data BMKG, kekeringan ini tidak dapat dilepaskan dari terjadinya fenomena El Nino yang mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dari biasanya melanda Indonesia.

El Nino merupakan fenomena alam, di mana iklim menjadi lebih hangat yang ditandai dengan kemarau panjang. Sejak Juli 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi dampak titik puncak El Nino akan terjadi pada Agustus-September 2023.

Prediksi tersebut berpijak dari hasil monitoring BMKG yang menyebutkan hingga pertengahan Juli 2023 sebanyak 63 persen dari zona musim di Indonesia telah memasuki musim kemarau.

Lebih lanjut, BMKG juga memprediksi kemarau tahun 2023 ini akan lebih kering dari kondisi normalnya. Dalam perkembangan terbaru, fenomena El Nino ini diprediksi terus berlanjut sehingga kekeringan diperkirakan dapat berlangsung hingga Oktober 2023.

Kemarau panjang ini bahkan telah dirasakan di sejumlah wilayah. Sejak Mei 2023, Pemerintah Kabupaten Cianjur telah menetapkan siaga darurat kekeringan. Pemprov NTT, bahkan, telah menetapkan sejak akhir April 2023.

Faktor kedua yang dapat dicermati dari meluasnya dampak kekeringan ini ialah diterapkannya status darurat kekeringan di sejumlah kabupaten/kota. Di beberapa tempat, status darurat kekeringan ini juga diterapkan bersamaan dengan bencana kebakaran hutan dan lahan.

Sejumlah daerah yang sudah menetapkan status siaga darurat kekeringan ialah Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Banyuwangi, Kabupeten Trenggalek, Kabupaten Garut, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cimahi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupeten Boyolali, Kabupatan Demak, Kabupaten Cilacap, dan Kabupeten Serang.

Bahkan, status siaga darurat kekeringan ini juga sudah diterapkan di level provinsi, yaitu NTT dan Banten. Sejak April 2023, Pemprov NTT sudah menetapkan status darurat selama enam bulan sejak 27 April 2023 hingga 27 Oktober 2023. Terbaru, Pemprov Banten pada 19 September 2023 lalu juga menerapkan status tanggap darurat kekeringan.

Pulau Jawa,
Faktor ketiga yang perlu diwaspadai dari meluasnya dampak kekeringan ini ialah potensi risiko bencana kekeringan yang dialami wilayah Indonesia. Publikasi Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2022 menyebutkan, terdapat 371 kabupaten/kota yang memiliki indeks risiko tinggi bencana kekeringan. Dari 511 kabupaten/kota yang dipetakan BNPB tersebut, ada 70 persen wilayah yang memiliki risiko besar mengalami kekeringan.

Risiko bencana tersebut setidaknya pernah dialami Indonesia pada 2018. Saat itu, bencana kekeringan melanda 7.798.693 penduduk di 11 provinsi. Jumlah bencana yang diambil dari publikasi ”Data Bencana Indonesia 2018” tersebut memperlihatkan Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling banyak terdampak kekeringan.

Saat itu, sebanyak 4,92 juta penduduk di Jawa yang tersebar di 90 kabupaten/kota mengalami dampak kemarau panjang. Kondsi ini menggambarkan sebagian besar (63 persen) populasi yang terdampak kekeringan ada di Jawa. Sementara di luar Pulau Jawa, kekeringan terjadi di 39 kabupaten/kota yang tersebar di enam provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.

Pola bencana kekeringan yang terjadi pada 2018 ini juga masih berlangsung pada tahun ini. Daerah-daerah yang mengalami kekeringan hingga Agustus 2023 ini juga banyak terjadi di Pulau Jawa. Dalam catatan BNPB, kekeringan di wilayah Jawa pada tahun ini mulai terjadi di Cilacap dan Bogor pada Mei 2023. Hingga Agustus 2023, sedikitnya sudah ada 428.749 penduduk Jawa yang terdampak kekeringan.

Air bersih merupakan bagian penting dari kehidupan manusia. Keberadaan air bersih diperlukan sebagai sumber air minum dan kebutuhan lain, seperti memasak dan mandi serta cuci (MCK). Minimnya konsumsi air minum dapat menyebabkan dehidrasi yang berbahaya bagi tubuh manusia. Kurangnya sumber air juga dapat berdampak pada kualitas kesehatan, seperti kebersihan tubuh.

Darurat kekeringan dan krisis air bersih yang dialami sebagian masyarakat Indonesia menanti uluran tangan pemerintah untuk segera menanganinya. Skema kebijakan yang diterapkan pemerintah, seperti saat menangani darurat kesehatan akibat pandemi korona, dapat diterapkan untuk menanggulangi kekeringan. Dana darurat bencana dapat dialokasikan untuk menyalurkan air bersih di kantong-kantong wilayah kekeringan.

Untuk mengatasi kekeringan dan krisis air bersih, pemerintah bersama BNPB dan BPBD melakukan distribusi air bersih. Di Jawa Tengah, sebanyak 12.970.300 liter air bersih didistribusikan di berbagai wilayah yang mengalami kekeringan. Demikian pula Provinsi Jawa Timur yang telah mengirimkan bantuan air bersih ke 19 kabupaten/kota.

Namun, penanganan ini masih dalam dimensi jangka pendek. Berulangnya kekeringan dan kecenderungan pola daerah-daerah yang sama setiap tahunnya memerlukan penanganan jangka panjang untuk mencegah meluasnya kekeringan dan krisis air bersih. Pembangunan embung, waduk, terminal air, atau sumur resapan perlu ditingkatkan di wilayah-wilayah kecamatan hingga desa yang rawan kekeringan.

Dalam jangka panjang, penghijauan dan reboisasi di wilayah sekitar sumber mata air serta konservasi lahan kritis menjadi investasi jangka panjang untuk menangani bencana kekeringan di Indonesia. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *