Jakarta, Matainvestigasi.com – Pertamina berencana menggantikan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dengan Pertamax Green 92 atau 95. Namun, hingga kini rencana penghapusan Pertalite belum kunjung dilaksanakan, Sab’tu (04/05).
Saat ini Pertamina sedang fokus memperkenalkan dan menjual bensin baru Pertamax Green 95. Sejumlah pertimbangannya karena pasokan bahan baku bioetanol jangka panjang hingga kesiapan daya beli masyarakat.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Saleh Abdurrahman menyatakan, belum mengetahui adanya rencana penghapusan Pertalite dan menggantinya ke Pertamax Green 95 pada tahun ini.
“Untuk mengganti RON 90 (Pertalite) ke RON 92 atau RON 95 mesti menghitung aspek harga jual, besaran kompensasi, dan lainnya. Jadi harus disiapkan dengan baik,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Terutama jika akan digeser ke Pertamax Green 95, Saleh menilai, pasokan bioetanol jangka panjang harus dipersiapkan dengan matang.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, saat ini Pertamina belum berencana menghapus Pertalite.
“Belum, semua masih dalam kajian. Terkait Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) kewenangannya ada di pemerintah,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Yang jelas, di tahun ini Pertamina Patra Niaga akan fokus meningkatkan penjualan Pertamax Green 95 dengan menambah jumlah SPBU yang akan melayani penyaluran.
Namun sayang, hal ini belum bisa dibeberkan secara terperinci oleh Irto karena masih dalam proses peninjauan.
Pertamina sejak lama berkeinginan tidak lagi menjual BBM jenis bensin dengan nilai oktan 90 (RON 90) atau dikenal masyarakat Pertalite.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamina tentunya harus selalu berinovasi dan produk yang dijual ke masyarakat sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dalam hal ini, keinginan tidak lagi menjual Pertalite ke depan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.P/20/menlhk/setjen/kum.1/3/2017 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O.
Dalam Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri LHK tersebut disebutkan bahwa bahan bakar minyak jenis bensin minimal memiliki nilai oktan (RON) 91.
“Kami sudah membuat kajian dan sudah bicarakan ke pemerintah (Kementerian ESDM). Nantinya Pertalite diganti dengan RON 92 dengan harga yang sama Rp10.000 per liter,” kata Fadjar saat ditemui di Jakarta, Selasa (26/3/2024).
Jika hal ini terlaksana, maka biaya yang dikeluarkan Pertamina nantinya akan membengkak dalam membuat produk di atas RON 90.
Apalagi, harga yang dijual ke pasar tetap seperti harga Pertalite saat ini Rp10.000 per liter, tetapi dapat RON 92.
“Kami semangatnya kualitas dari BBM itu. Apalagi terkait lingkungan, karena isunya kan sekarang udara yang bersih. Jadi kami belum melihat itu (beban biaya),” ucap Fadjar.
Namun, Fadjar tidak dapat memastikan kapan keinginan Pertamina tersebut bisa terwujud karena Pertalite sebagai jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yang mana kewenangannya ada di pemerintah.
“Kami tunggu pemerintah dan belum tahu kapannya? Kalau disetujui nantinya akan dilakukan secara bertahap,” ucap Fadjar.
Jauh sebelumnya, rencana penghapusan Pertalite sudah disuarakan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Ia menginginkan Pertalite tidak lagi dijual di Indonesia mulai 2024 dan diganti menjadi RON 92.
Hal tersebut dilakukan dengan mencampur bensin Pertalite (RON 90) dengan Etanol 7 persen (E7), sehingga menjadi Pertamax Green 92.
Sehingga ke depan, Pertamina hanya menjual tiga jenis produk bensin dan ramah lingkungan, yakni Pertamax Green 92, Pertamax Green 95, dan Pertamax Turbo (RON 98).
“Kami akan keluarkan Pertamax Green 92-Pertalite dicampur etanol jadi 92. Ini kita yakini dapat berikan manfaat,” ungkap Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (30/8/2023).
Namun, saat itu Nicke menyebut kajian yang dinamakan Program Langit Biru Tahap 2 tersebut masih dilakukan secara internal dan belum diputuskan.
“Program Langit Biru tahap 2 dari RON 90 ke RON 92. Sesuai KLHK, oktan yang boleh dijual itu 91, aspek lingkungan menurunkan emisi karbon, bioetanol, bioenergi terpenuhi dan menurunkan impor,” papar Nicke.
“Program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah. Tentu ini akan kami usulkan dan akan kami bahas lebih lanjut,” lanjutnya.
Nicke menambahkan, jika nanti usulan tersebut dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganyanya tentu akan diatur oleh pemerintah.
“Tidak mungkin Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya,” tutur Nicke.
Kajian tersebut menurut Nicke, dilakukan untuk menghasilkan kualitas BBM yang lebih baik, karena bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi tentu akan semakin ramah lingkungan.
“Kalau misalnya dengan harga yang sama, tapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan octan number lebih baik, sehingga untuk mesin juga lebih baik, sehingga emisi juga bisa menurun. Namun ini baru usulan sehingga tidak untuk menjadi perdebatan,” kata Nicke.
Seperti diketahui, Pertamina menjual 4 produk yaitu BBM Pertalite (RON 90), Pertamax (RON 92), Pertamax Green (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98).
Adapun untuk jenis BBM diesel, Pertamina menjual Biosolar (subsidi), Dexlite, dan Pertamina DEX.
Mengutip Kontan, sebelumnya Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyampaikan, pencampuran etanol untuk seluruh jenis BBM masih lama diterapkan karena rantai pasok bahan bakunya belum siap.
“Bioetanol ini kita belum siap rantai pasoknya di hulu. Jadi menurut saya tidak bisa cepat seperti biodiesel karena kalau harus impor akan tambah biaya dan tinggi harganya,” ujar Tutuka ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (12/2).
Menurutnya, sejauh ini BBM campuran etanol masih terus diuji coba secara teknis dan komersial. Sehingga penerapan masif masih memerlukan waktu.
Satu kunci penting dalam pengembangan BBM campuran etanol ialah pasokan bahan baku yang berkelanjutan dan tidak mengganggu suplai untuk kebutuhan lainnya semisal tebu untuk pangan.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo menjelaskan ketersediaan fuel grade ethanol (FGE) nasional saat ini baru sejumlah 40 kilo liter per-tahun. Masih jauh untuk memenuhi kebutuhan pencampuran bioetanol (E5) secara nasional.
Berdasarkan peta jalan pengembangan bioetanol berbasis tebu, diperkirakan pada tahun 2026 ketersediaan FGE akan semakin meningkat menjadi 623.000 kL per tahun.
Sejalan dengan makin meningkatnya kebutuhan BBN, pemerintah akan meningkatkan ketersediaan bioetanol melalui Perpres No.40 tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel), di mana ditargetkan pada tahun 2030 akan tersedia FGE sebesar 1.2 juta kL.
“Namun jumlah ini pun belum mencukupi untuk pencampuran E5 dengan semua jenis gasoline,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Pencampuran etanol secara masif ke BBM diakui Edi tetap mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan penerimaan masyarakat.
Mengingat Pemerintah belum berencana untuk memberikan subsidi atas kenaikan harga bensin akibat dicampurkannya bioetanol ke dalam bensin. Dalam kondisi normal, harga bioetanol lebih tinggi dari harga bensin.
Update Harga BBM Pertamina 1 April 2024
PT Pertamina memutuskan untuk tidak mengubah harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dijual di seluruh Indonesia pada 1 April 2024.
Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya adalah Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang formulasi harga Jenis Bahan Bakar Umum (JBU) atau BBM.
Berikut adalah daftar lengkap harga BBM Pertamina per 1 April 2024 di berbagai wilayah Indonesia:
Pertalite
Rp 10.000 per liter (harga seragam di seluruh Indonesia)
Biosolar
Rp 6.800 per liter (harga seragam di seluruh Indonesia)
Pertamax
Rp 12.100 per liter (Free Trade Zone Sabang)
Rp 12.600 per liter (Free Trade Zone Batam)
Rp 13.200 per liter (Aceh, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur)
Rp 12.950 per liter (Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur)
Rp 13.500 per liter (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat)
Rp 13.800 per liter (Riau, Kepulauan Riau, Batam, dan Bengkulu)
Pertamax Turbo
Rp 13.500 per liter (Free Trade Zone Batam)
Rp 14.400 per liter (Aceh, Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur)
Rp 14.750 per liter (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat)
Rp 15.100 per liter (Riau, Kepulauan Riau, Bengkulu)
Pertamax Green 95
Rp 13.900 per liter (DKI Jakarta dan Jawa Timur)
Pertamax Green
Rp 13.900 per liter (DKI Jakarta dan Jawa Timur)
Dexlite
Rp 13.200 per liter (Free Trade Zone Sabang)
Rp 13.800 per liter (Free Trade Zone Batam)
Rp 14.550 per liter (Aceh, Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur)
Rp 14.900 per liter (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat)
Rp 15.250 per liter (Riau, Kepulauan Riau, Kodya Batam (FTZ), dan Bengkulu)
Pertamina Dex
Rp 14.400 per liter (Free Trade Zone Batam)
Rp 15.100 per liter (Aceh, Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur)
Rp 15.450 per liter (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua Barat)
Rp 15.800 per liter (Riau, Kepulauan Riau, dan Bengkulu)
(Red)