Bandung, Matainvestigasi.com – Keberadaan bangunan tidak berizin di Kota Bandung, saat ini banyak ditemukan. Lemahnya pengawasan dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) jadi sebab bangunan ilegal tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau IMB, Selasa (11/06).
Pemkot Bandung sebetulnya sudah memiliki layanan terpadu dalam mengurus izin. Akan tetapi, pada kenyataannya prosesnya berbelit dan tidak ada kepastian waktu.
Berdasarkan hasil penelusuran, banyak ditemukan bangunan ilegal tidak memiliki PGB atau IMB.
Pengawasan lemah ini membuat pelaku usaha lebih memilih bangun dulu urusan izin bisa belakangan.
Cara seperti ini, akhirnya jadi peluang praktek manipulatif dan sangat rawan terjadi prilaku koruptif.
Dalam memberikan sanksi juga dinilai tidak tegas dan tidak memiliki efek jera. Pengusaha sepertinya tidak mempermasalahkan dikenakan sanksi bayar denda asal usahanya lancar.
Padahal, bangunan yang berdiri ini punya potensi untuk mendapatkan pedapatan dari sektor pajak daerah.
Berdasarkan data dari laporan keuangan tahun anggaran 2022 target PBB Perkotaan Rp 670 miliar. Akan tetapi realiasasinya hanya mencapai Rp 540,92 miliar atau 80,74 persen.
Lebih parah lagi pendapatan pajak dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang ditargetkan Rp 871,8 miiar. Akan tetapi pada kenyataannya teralisasi hanya Rp 580,36 miliar atau hanya 66,57 persen.
Sementara itu berdasarkan laporan keuangan Pemkot Bandung, pendapatan lain-lain yang sah atas perolehan pajak denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2) tercatat hanya Rp 11,9 miiar yang diperoleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bandung.
Sedangkan pendapatan denda atas pelanggaran Perda memperoleh total Rp 18.16 miiar.
Adapun rinciannya Dinas Cipta Karya Bina Kontruksi dan Tata Ruang (Ciptabintar) memperoleh pendapatan denda Perda Rp 5,8 miliar.
Sementara Satpol PP Kota Bandung memperoleh pendapatan denda sebesar Rp 144 juta.
Kemudian Dinas Perhubungan (Dishub) sebesar Rp 106 juta. Sedangkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) mendapatkan hasil pendapatan pelanggaran Perda hanya Rp 12 miliar.
Dari data PAD tersebut, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam hasil pemerksaan laporan keuangan Pemkot Bandung Tahun anggaran 2022 menemukan beberapa kejanggalan.
‘’BPK menemukan kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan dalam pemeriksaan Laporan Keuangan 2022,’’ tulis BPK dalam pengantarnya.
Transaksi pembayaran BPHTB selama 2022 biasa dilakukan dengan aplikasi pajak secara online Electronic-Self Assessment Tax Reporting Application (e-SATRiA).
Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas aplikasi tersebut, terdapat permasalahan penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang berulang terhadap WP yang sama pada tahun perjalan.
Pengenaan NPOPTKP lebih dari sekali ini terdiri dari 89 WP. Sehingga mengakibatkan kekurangan penetapan BPHTB sebesar Rp 273 juta.
Pada aplikasi e-SATRiA jika dilakukan input NIK yang sama untuk kedua kali atau lebih, maka NPOPTKP masih tertera pada aplikasi tersebut. Sehingga rawan manipulasi data.
Selain itu, ketika dilakukan pengujian SISMOP ditemukan data yang tidak singkron antara Bapenda Kota Bandung dan DPMPTSP terkait PBB-P2.
‘’Jadi saat ini belum memanfaatkan data transaksi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)/ Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ini dlakukan untuk pemutakhiran nilai bangunan pada aplikasi SISMIOP,’’ tulis BPK.
Berdasarkan data dari DPMPTSP, selama 2020 dan 2021 jumlah IMB yang diterbitkan sebanyak 3.635.
BPK melakukan pengujian secara uji petik atas data IMB di Kota Bandung. Kemudian melakukan perbandingan antara Data Penetapan PBB-P2 Tahun 2022 dari Bapenda dengan Data Penerbitan IMB dari DPMPTSP.
Dari hasil pengujian uji petik tersebut diketahui terdapat 16 WP PBB-P2 membayar PBB-P2 sebesar Rp149.598.587,00.
Akan tetapi, berdasarkan luasan bangunan pada Data Penerbitan IMB dari DPMPTSP, PBB-P2 terutang seharusnya adalah sebesar Rp290.124.243,00.
Dalam prakteknya perhitungan besaran pokok PBB-P2 adalah mengalikan tarif PBB-P2 dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi NJOPTKP.
Besaran NJOPTKP adalah Rp 25.000.000,00 untuk setiap WP. Akan tetapi pada aplikasi SISMIOP dasar pengenaan NJOPTKP tidak seragam.
Kesalahannya, WP diinput berdasarkan NIK dengan pengurangan NJOPTKP hanya sekali untuk seluruh transaksi untuk seluruh obyek pajak dan mengindikasikan banyak bangunan ilegal yang belum memiliki izin.
‘’Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah,’’ tutup BPK. (Red)