Jerat Hukum Bagi Paslon Independen yang mencatut KTP daftar dukungan

Mata Investigasi, Artikel Hukum. Untuk maju dalam kontestasi pilkada Pasangan calon (paslon) dapat diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan (independen). Bagi paslon independen untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon wali kota/wakil wali kota, maka pasangan calon tersebut harus memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebagaimana ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU No.10/2016) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang .

Dukungan sebagaimana dimaksud dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-e) atau surat keterangan yang diterbitkan Disdukcapil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan pilkada paling singkat 1 tahun dan tercantum dalam DPT pemilu sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud.

Lantas, bagaimana jika dalam pemenuhan syarat dukungan tersebut diperoleh oleh Paslon dengan cara mencatut KTP warga tanpa seizin yang bersangkutan?

Simak penjelasan singkat berikut ini bersama : ADV. ALAMSYAH, SH., MH., CLA. Advokat, Pengacara, Konsultan Hukum, Auditor Hukum Indonesia.

Mencatut KTP warga tanpa seizin yang bersangkutan guna memenuhi syarat calon perseorangan untuk menjadi paslon dalam pilkada termasuk ke dalam tindak pidana. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 185A ayat (1) UU No.10/2016 menyatakan bahwa : setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36 juta dan paling banyak Rp72 juta.

Apabila pencatutan KTP itu dilakukan oleh penyelenggara pilkada, juga dapat dijerat pidana dengan Pasal 185A ayat (1) UU No.10/2016 dengan ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimumnya.

Selain ketentuan  UU No.10/2016, Perbuatan Paslon perseorangan (independen) yang memalsukan daftar dukungan untuk Pilkada dengan mencatut KTP Warga tanpa seizin yang bersangkutan dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagaimana ketentuan Pasal 65 ayat (1) dan ayat (3) dengan sanksi pidana yang tegas pada Pasal 67 ayat (1) dan (3) UU PDP yaitu:

Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi sebagaimana dimaksud Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.

Ayat (3) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.

Selain jerat hukum Pidana, paslon tersebut  juga dapat digugat secara Perdata dan membayar ganti rugi. Hal ini diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) UU PDP yang menyatakan bahwa subjek data pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan data pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ganti rugi dalam hukum perdata adalah hak untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang diderita akibat perbuatan melawan hukum. Pasal 1365 KUHPerdata mengatur penuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum. Ganti rugi tersebut dapat berupa ganti rugi materiil atau immateriil. Dalam hal ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, hakim berwenang menentukan berapa sepantasnya ganti rugi yang dibayarkan. (AL-008)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *