Ancaman Senyap di Waduk Saguling dan Cirata: Fenomena Umbalan Jadi Bom Waktu Ekologis

BANDUNG BARAT, MATAINVESTIGASI.COM — Di balik permukaan air tenang Waduk Saguling dan Cirata, ancaman mematikan sedang mengintai. Fenomena umbalan, naiknya air dari dasar waduk yang miskin oksigen dan kaya zat beracun kembali menjadi momok tahunan yang berpotensi memusnahkan jutaan ikan dan merusak ekosistem perairan.

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat (KBB) kini mengambil langkah darurat. Melalui Dinas Perikanan dan Peternakan (Dispernakan), Pemda mengimbau seluruh pembudidaya keramba jaring apung (KJA) untuk menghentikan sementara aktivitas budidaya selama periode rawan November 2025 hingga Maret 2026 — masa yang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) disebut sebagai “kalender bahaya”.

“Kita sudah masuk periode kritis kematian massal ikan. Fenomena cuaca ekstrem dan perubahan suhu air memperbesar risikonya,” ujar Kepala Bidang Perikanan Dispernakan KBB, Dindin Rustandi, Pada kamis (13/11/2025).

Menurut Dindin, fenomena umbalan bukan sekadar gangguan musiman, tapi alarm ekologis yang menandakan kondisi waduk sudah berada di titik rentan.

Air lapisan dasar waduk, yang mengandung amonia, metana, dan hidrogen sulfida, naik ke permukaan ketika suhu air berubah drastis. Akibatnya, kadar oksigen terlarut anjlok, dan ikan mati dalam hitungan jam.

“Ketika air dasar naik, oksigen langsung turun. Ikan di permukaan mati kekurangan oksigen. Prosesnya cepat, kadang hanya beberapa jam,” jelasnya.

Fenomena ini bukan yang pertama. Oktober lalu, Waduk Cirata sudah mencatat kematian ikan sekitar 10–15 persen dalam satu petak keramba. Meski skalanya masih terbatas, potensi bencana lebih besar terbuka lebar, terutama saat puncak musim hujan antara Desember hingga Februari.

Masalahnya, setiap tahun siklus ini berulang, tapi penanganannya sering berhenti di level imbauan. Belum ada langkah strategis jangka panjang untuk menekan padatnya KJA, memperbaiki sirkulasi air, atau mengurangi beban limbah di waduk.

“Petani ikan diminta panen dini, jangan menebar benih baru, dan menyiapkan tempat pengolahan pascapanen agar kerugian ekonomi bisa ditekan,” ujar Dindin.

Namun, kebijakan berhenti sementara bukan solusi permanen. Para pemerhati lingkungan menilai, padatnya populasi keramba dan minimnya kontrol limbah mempercepat proses eutrofikasi penumpukan sisa pakan dan kotoran ikan di dasar waduk yang memperparah kadar racun ketika umbalan terjadi.

Di sisi lain, belum semua pembudidaya memiliki kesadaran pengelolaan limbah. Saat kematian ikan terjadi, banyak yang masih membuang bangkai ke waduk, memicu pencemaran lanjutan dan bau menyengat yang mencederai kualitas lingkungan serta kesehatan warga sekitar.

“Ikan mati harus segera dikubur jauh dari perairan. Kalau dibiarkan mengapung, pencemaran makin parah,” tegas Dindin.

Pemerintah daerah, kata dia, sudah menyiapkan panduan tanggap darurat dan pemantauan lapangan untuk mencegah skala kerusakan lebih luas. Tapi tanpa pengawasan ketat dan kolaborasi lintas instansi, ancaman ekologis ini bisa menjadi bom waktu bagi dua waduk terbesar di Jawa Barat yang selama ini menopang ekonomi ribuan warga.

(Fr)