Bandung Tersesat di Lorong Kekuasaan: Jabatan Dilelang, Moral Dibuang Balai Kota Jadi Bursa

BANDUNG, MATAINVESTIGASI.COM —  Di Bandung, kekuasaan bukan lagi amanah tapi komoditas. Jabatan diperdagangkan, proyek disulap jadi ajang balas budi, dan birokrasi dijadikan ladang rente oleh lingkar politik penguasa. Inilah wajah baru korupsi struktural: rapi, sistematis, dan berbalut narasi reformasi. Kamis (13/11).

Dua dinas strategis, Dinas Perhubungan serta Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga baru-baru ini menjadi sasaran penggeledahan Kejaksaan Negeri Bandung. Delapan kepala dinas telah diperiksa. Temuan awal menunjukkan adanya praktik sistematis pengumpulan “setoran jabatan” dan pengaturan tender proyek. Namun akar persoalan tampaknya jauh lebih dalam: indikasi keterlibatan langsung Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung.

Sumber internal birokrasi menyebutkan bahwa promosi jabatan dan pembagian proyek besar di Bandung dua tahun terakhir didominasi oleh orang-orang dari tim sukses politik kepala daerah. Mereka kini menduduki posisi strategis di dinas yang mengelola anggaran miliaran rupiah.

Lebih jauh, orang-orang terdekat kepala daerah disebut menjadi perantara dalam “negosiasi jabatan dan proyek”. Pejabat yang ingin promosi diarahkan lewat jalur informal orang kepercayaan, bukan melalui mekanisme resmi Badan Kepegawaian Daerah.

Transaksi ini bahkan dijuluki “investasi jabatan”: siapa yang mampu membayar, akan dijamin posisinya. Siapa yang menolak, siap-siap disingkirkan dari lingkar kekuasaan.

Dalam situasi ini, Wali Kota dan Wakil Wali Kota bukan lagi pengambil keputusan objektif, tapi menjadi pusat kekuasaan yang dipagari oleh jejaring politik dan ekonomi yang mereka bangun sendiri. Inilah wajah baru korupsi struktural ketika birokrasi disulap menjadi pasar kekuasaan.

Dominasi tim sukses dalam jabatan publik memang bukan hal baru. Tapi di Bandung, skalanya kini mencemaskan. Setelah pelantikan kepala daerah, posisi-posisi kunci dari Kepala Dinas hingga Sekretaris banyak diisi oleh mereka yang punya kedekatan personal atau kontribusi politik saat kampanye.

Birokrasi pun terbelah. Mereka yang menjunjung meritokrasi tersingkir, digantikan oleh mereka yang loyal secara politik. Proyek pembangunan berubah jadi ajang balas budi.

Dalam sejumlah tender besar, nama-nama kontraktor yang terafiliasi dengan jaringan politik kepala daerah kembali muncul. Proses lelang hanya formalitas; pemenang sudah ditentukan sejak awal. Akibatnya, birokrasi pelayanan publik berubah menjadi birokrasi rente. Spanduk reformasi masih terpasang, tapi integritas sudah dijadikan komoditas dagang.

Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandung sering tampil membawa narasi integritas, keterbukaan, dan pelayanan prima. Tapi realitas di lapangan menampar keras citra itu. Ketika orang-orang di lingkar mereka justru jadi makelar jabatan dan proyek, setiap kata tentang “integritas” kehilangan makna moralnya.

Lebih menyedihkan lagi, tidak ada langkah tegas terhadap mereka yang terlibat. Tidak ada pembekuan jabatan, tidak ada audit menyeluruh, tidak ada keberanian memutus mata rantai rente kekuasaan. Bandung kini berjalan tanpa nakhoda. Kapal pemerintahan melaju tanpa arah, dikendalikan oleh tangan-tangan yang sudah lama kehilangan kompas moral.

Kepemimpinan tanpa integritas hanya melahirkan birokrasi administratif tanpa jiwa. Kota bisa tetap gemerlap di atas kertas, tapi sejatinya tenggelam dalam lumpur moralitas kekuasaan.

Ketika jabatan diperjual belikan dan proyek dipesan oleh lingkar politik, rakyat jadi korban paling nyata. Program pembangunan mandek, dihitung dari untung rugi politik, bukan manfaat sosial. Pejabat yang naik lewat “tiket berbayar” akan sibuk mencari cara menutup modalnya, bukan melayani warga.

Pelayanan publik jadi lamban, proyek infrastruktur asal jadi, dan kepercayaan warga runtuh. Beginilah harga mahal dari birokrasi yang dikomersialisasi.

Jika Bandung ingin selamat dari kehancuran moral, tak ada pilihan lain selain mencabut akar korupsi dari lingkar kekuasaan tertinggi.

1. Audit menyeluruh terhadap seluruh mutasi jabatan dan proyek dua tahun terakhir harus dilakukan secara terbuka oleh lembaga independen.

2. Tangan kanan politik yang jadi calo jabatan harus disingkirkan dan diproses hukum, bukan hanya dimutasi.

3. Penegak hukum Kejari, KPK, dan Kepolisian harus berani menembus tembok politik Balai Kota. Tak boleh ada kekebalan hukum hanya karena pelaku ada di lingkar kepala daerah.

4. Wali Kota dan Wakil Wali Kota mesti dimintai pertanggungjawaban moral dan politik. Jika terbukti mengetahui dan membiarkan praktik ini, publik berhak menuntut mereka mundur.

Bandung berdiri di ambang krisis moral dan politik. Jika dugaan keterlibatan kepala daerah terbukti, sejarah akan mencatat masa ini sebagai periode tergelap pemerintahan kota.

Namun, jika keberanian moral muncul untuk memutus rantai rente, membersihkan lingkar kekuasaan, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu, Bandung masih punya harapan menemukan kembali arah dan nakhodanya.

Kota ini tak akan pernah jadi utama selama jabatan dan proyek dijadikan komoditas politik. Kepemimpinan sejati hanya lahir dari keberanian memerangi kawan sendiri demi kepentingan rakyat.

Jika keberanian itu tak ada, maka benar adanya: Bandung sudah tanpa nakhoda.

Sumber – Rohimat Joker Ketum LSM PMRI