Kepala Daerah Banyak yang Salah Kaprah, Anggap Penilaian Opini WTP dari BPK Prestasi!

Bandung, Matainvestigasi.Com – Belum lama ini, Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) memberikan penilaian atas Laporan Hasil Pemeriksaan ( LHP ) pengelolaan keuangan tahun anggaran 2024.

BPK Perwakilan Jawa Barat memberikan opini WTP kepada 26 Pemda dan 2 WDP untuk Kabupaten Kuningan dan Pangandaran.

Dalam keterangan rilis BPK Perwakilan Jawa Barat, disebutkan terdapat lima daerah mendapat WTP, namun diberikan istilah khusus oleh BPK.

Istilah itu di antaranya WTP dengan Penekanan Suatu Hal (WTP PSH), WTP Penekanan Suatu Hal dan Hal Lain (WTP PSHHL) dan WTP dengan Paragraf Hal Lain (WTP PHL).

Opini WTP merupakan pernyataan profesional dari auditor dalam memberikan nilai kewajaran mengenai informasi keuangan.

BPK menyebut, pemeriksaan dilakukan tidak secara khusus bertujuan untuk menemukan penyimpangan atau fraud.

Akan tetapi jika ditemukan indikasi kerugian negara, hal tersebut wajib diungkapkan dalam LHP.

Berdasarkan Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, setiap temuan wajib ditindaklanjuti paling lambat 60 hari setelah LHP diterima.

Akan tetapi, pada kenyataannya setiap rekomendasi atas temuan yang diberikan BPK masih banyak terdapat temuan yang belum terselesaikan.

Menggapi hal ini, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, penilaian opini oleh BPK tidak akan punya nilai jika ditempuh dengan cara kotor.

Praktek transaksional bisa saja terjadi ketika pemeriksaan. Tujuannya agar LHP memiliki nilai kewajaran dan dapat opini WTP.

Menurutnya, berbagai kasus penyalahgunaan kewenangan ketika lakukan pemeriksaan pernah terjadi. Hal ini dapat menggerus kepercayaan publik.

‘’Seharusnya bisa menumbuhkan kepercayaan publik, namun integritas saat ini sangat diragukan,’’ uca seperti Agus seperti dilansir Tempo.co. dikutip, Selasa, (10/06/2025).

Sementara itu Pengamat Hukum Keuangan Negara Beni Kurnia Ilahi menuturkan, opini WTP tidak memberikan jaminan pemerintahan pusat dan daerah, Kementerian atau lembaga, bersih dalam pengelolaan keuangan negara.

Dalam melakukan pemeriksaan, BPK gunakan empat indikator. Yaitu, kesesuaian standar akuntasi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektivitas sistem pengendalian internal.

Akan tetapi dalam praktiknya, perolehan penilaian BPK ini seperti justifikasi bahwa pengelolaan keuangan teah dilakukan dengan benar.

Pada kenyataannya, opini WTP tidak bisa dijadikan jaminan pengelolaan keuangan negara bersih berdasarkan empat indikator itu.

Menurutnya perolehan Opini WTP BPK bukan sebagai parameter kinerja pengelolaan keuangan negara telah baik dan sesuai dengan ketentuan.

Selain itu, pada praktiknya banyak ditemukan jual beli opini WTP yang dilakukan oleh oknum auditor.

‘’Kondisi ini semakin terkuak bahwa pemberian opini WTP tidak sesuai 4 kriteria di atas,’’ ujarnya.

Beni menilai, empat indikator dalam pemeriksaan tersebut sudah tidak relevan dengan konsisi saat ini. BPK terkesan tidak transparan. Sebab alasan pemberian opini WTP tidak terbuka.

‘’ BPK tidak transparan soal pertimbangan mengapa sebuah kementerian atau lembaga dicap memenuhi kriteria opini WTP,’’ cetus dia.

Kondisi ini tidak sesuai dengan Undang-Undang 15 Tahun 2006 Tentang BPK dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam peraturan tersebut sudah diatur metode pemeriksaan keuangan negara. Namun terkesan BPK arogan karena tidak mengacu pada regulasi.

Dalam melakukan pemeriksaan hanya menggunakan metode sampel dan menggunakan uji petik.

Seharusnya yang jadi objek, seluruh laporan dari keuangan Kementerian, Lembaga dan pemerintahan daerah.

“Kearoganan itu dapat dilihat dari pemeriksaan Laporan Keuangan dengan metode sampel, sehingga tidak seluruh laporan keuangan kementerian atau lembaga yang menjadi objek,” kata Beni.

Selain itu, perolehan opini WTP sering dijadikan ajang pencitraan dan seakan akan hasil pemeriksaan sudah sesuai kriteria dan jadi kebanggaan dan prestasi.

Pemeriksaan yang dilakukan, kebanyakan hanya sebatas arus kas terhadap laporan keuangan secara administrasi.

Pemeriksaan tidak dilakukan terhadap laporan kinerja suatu program kegiatan yang menggunakan anggaran negara.

‘’Harusnya melihat bagaimana anggaran negara dikelola, yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja keuangan dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu,’’ ujarnya.

Beni menambahkan, masalah sumber daya auditor BPK juga ditemukan tidak seragam dalam melakukan metode perhitungan ketika melakukan audit laporan keuangan.

‘’Jadi seringkali terdapat temuan-temuan berbeda antara uditor dan mengakibatkan LHP BPK tidak punya kepastian hukum secara substansinya,” pungkas Beni.