Penyusutan Jadi Ancaman Bagi Kabupaten Bandung, Maraknya Pengambilan Air Bawah Tanah Besar-Besaran Oknum Pembisnis

Kab Bandung, Matainvestigasi.com – Maraknya pengambilan air tanah untuk kebutuhan industri, perusahaan minuman kemasan, bisnis properti hingga pertambangan dan geotermal, berdampak terhadap rusaknya lingkungan hingga potensi krisis air bagi masyarakat, Jum’at (19/02).

Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang mengatakan, pesatnya perluasan kawasan pemukiman hingga privatisasi air oleh perusahaan, jika tak dilakukan pembatasan oleh pemerintah, maka akan jadi ancaman bagi wilayah Kabupaten Bandung.

“Kalau dalam konteks pemanfaatan air bawah tanah itu lebih banyak digunakan oleh industri, perumahan atau fasos dan fasum hingga hotel serta apartemen,” kata Iwang kepada Jabar Ekspres, Selasa (16/1).

Menurutnya, penyusutan air bawah tanah di Kabupaten Bandung, khususnya yang diintervensi oleh industri, bisnis properti seperti perumahan, villa, hotel, mall dan lain sebagainya tergolong sangat besar.

Disamping digunakan untuk kebutuhan industri, bisnis properti serta perusahaan, perizinan tambang juga geotermal harus jadi perhatian.

“Berapa izin yang dikeluarkan baik untuk tambang, galian C, baik perumahan, perusahaan kemasan maupun industri?,” tanya Iwang

Dia menilai, apabila pengambilan air bawah tanah yang dilakukan secara terus dilanjutkan, tanpa dilakukan pembatasan oleh pihak Pemkab Bandung, maka dampaknya akan semakin memperburuk situasi air bawah tanah ketika terus dieksploitasi secara berlebihan.

“Ketika kita tanya terkait data-data izin pengambilan air artesis, ini juga belum terbuka secara terang-benderang oleh Pemkab Bandung,” beber Iwang.

Diakui, karena Pemkab Bandung tidak transparansi terkait data perizinan penggunaan air bawah tanag yang dikeluarkan perusahaan, hal itu menyulitkan pihaknya untuk melakukan analisis.

Abalisis yang hendak dilakukan, bertujuan untuk melihat serta menghitung, per tahun berapa kubik atau volume air bawah tanah yang dieksploitasi secara besar-besaran, oleh komoditas seperti perumahan, industri dan sebagainya.

“Dan itu tidak sebanding lurus dengan jasa lingkungan yang menjadi tanggungjawab mereka untuk melakukan pemulihan, malah cenderung dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, baik di tingkat desa, kecamatan hingga Pemkab Bandung,” ujarnya.

Iwang menerangkan, persoalan kerusakan lingkungan di Kabupaten Bandung, dari proyeksi bagi pemodal dan pihak-pihak yang akan berinvrstasi melirik Kawasan Bandung Selatan (KBS), pihak Pemkab Bandung sudah harus betul-betul serius menjaga serta memitigasi kerusakan yang akan terjadi ke depan.

“Apalagi proyeksi ke depan KBS akan menjadi salah satu potret buruk jika tidak ada batasan dan mitigasi yang dilakukan pemerintah secara tegas oleh Pemkab Bandung,” terangnya.

Bahkan alih fungsi lahan yang terjadi akibat pesatnya pembangunan di Kabupaten Bandung, berdampak terhadap penyusutan air.

Berdasarkan data Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2023 sampai 2043 Kabupaten Bandung, wilayah Kecamatan Baleendah dari sisi ketersediaan air sudah minus 9.559.297 liter per tahun.

Selain itu, penyusutan air juga terjadi di Kecamatan Bojongsoang, Ciparay, Arjasari, Katapang, Soreang, Majalaya, Solokan Jeruk, Cicalengka dan Kecamatan Rancaekek.

Oleh sebab itu, Iwang mengungkapkan, jangan sampai eksploitasi besar-besaran dalam sektor tambang, properti hingga industri terus gencar dijalankan.

“Harus ada pembatasan secara serius oleh pemerintah. Pemkab Bandung punya kekuatan, dengan menjakankan undang-undang otonomi daerahnya untuk mejaga kawasan tersebut,” ungkapnya.

“KBS bisa jadi salah satu benteng terakhir, bagaimana Kartar Parahyangan Bandung ini selamat dari keruakan dan kehancuran lingkungan ke depan,” pungkas Iwang. (Red)